The Seven Good Years : Cara Edgar Keret Menertawakan Hidup

Sebelum membaca buku ini, aku sudah cukup sering membaca cerpen-cerpen Edgar Keret di blog-blog yang dengan baik hati sudah menterjemahkan cerpen-cerpen tadi ke dalam bahasa Indonesia. Cerpen Keret terkenal sangat pendek, lucu, dan tentunya mempunyai olok-olok jenaka tentang hal-hal yang berbau politik serta hal-hal lainnya mengenai perang. Walau banyak juga ia menulis tentang hal lainnya. Keret adalah seorang Yahudi yang  tak mau pindah dari asalnya, Israel. Ia hidup di daerah konflik, namun pandangannya tentang itu tergolong unik, ia sangat kritis terhadap pemerintah, terhadap perang. Karena baginya perdamaian melampaui batas agama, bangsa, dan negara.

Di dalam buku ini Keret bercerita tentang pegalaman hidupnya selama 7 tahun, hal ini dimulai ketika anaknya Lev lahir. Ia membuka cerita-cerita dengan sangat lucu, seperti memperolok dirinya sendiri, bahkan ia bisa membuat hal-hal yang menyedihkan atau semacam bencana mengerikan menjadi sesuatu yang santai serta lucu. Seperti saat istrinya ingin melahirkan anak pertamanya itu disebuah rumah sakit, kebetulan saat itu berbarengan dengan korban peledakan bom teroris. Keret tanpa sengaja berjumpa dengan seorang wartawan yang mengira ia juga korban peledakan bom tadi. Saat Keret menjelaskan bahwa ia mengantar istrinya melahirkan, wartawan tadi malah kecewa, ia berharap kalau seorang penulis menjadi korban peledakan itu mungkin komentar penulis akan terdengar orisinal dan memiliki visi, sebab wartawan tadi berterusterang bahwa ia sudah bosa mendengar komentar yang hampir sama acap kali mewawancari korban.

Tulisan Keret tak pernah menjemukan, ia sangat piawai bercerita apa pun dengan sudut pandang yang lucu, terbukti saat membaca buku ini aku tidak bisa berhenti hingga halaman terakhir, dan tentunya juga tidak pernah berhenti tertawa.

Dalam buku ini Keret juga bercerita tentang ketakutannya pada sejarah kelam orang Yahudi, apalagi saat ia berjumpa atau berkunjung ke Jerman. Luka masa silam membuat ia terkadang paranoid terhadap orang Jerman, ia selalu merasa tidak aman walau sebenarnya tidak ada yang benar-benar mengancamnya. Keret juga pernah di undang ke Indonesia (Bali) dalam sebuah festival menulis, ia bercerita bahwa untuk mendapatkan visa sangat sulit dan ayahnya sangat melarang ia pergi ke sana karena menurut ayahnya mayoritas di sana adalah orang Islam yang tidak suka dengan Israel dan anti-Semit. Namun Keret bersikeras sambil bilang bahwa di Bali, mayoritas orang beragama Hindu.

Selain itu Keret juga bercerita tentang adik perempuannya yang sangat taat, serta ayahnya yang sekarat. Ia bercerita tentang kemalangan yang menimpanya, tapi tetap saja dengan gayanya yang lucu. Pernah suatu ketika seorang teman memberitahunya bahwa tempat tinggalnya merupakan daerah yang akan dijatuhi rudal, karena itu ia akhirnya bermalasan memperbaiki genteng yang bocor dengan alasan, hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia belaka. Namun istrinya tidak mau kalah dengan alasan itu, maka istrinya juga tidak ingin mencuci piring atas alasan yang serupa. Dalam buku ini Keret juga menceritakan usahanya memberikan contoh-contoh yang baik kepada anaknya, sebab menjelaskan sesuatu pada anak-anak tidak lah mudah apalagi ditengah konflik yang berkecimuk.

Bagiku membaca buku ini seperti belajar melihat diri sendiri dan menilai hal-hal yang sering aku keluhkan pada hidupku, bahwasanya banyak hidup yang jauh lebih mengerikan daripada hidupku ini, dan hebatnya beberapa dari orang dengan berhasil melewatinya tanpa banyak mengeluh. Mungkin ini pentingnya mentertawakan hidup kita sendiri, seperti yang dilakukan oleh Keret. Ternyata alasan kita terdampar di muka bumi ini bukan untuk bersedih hingga kematian menjemput, tapi untuk bahagia, dan alih-alih bermanfaat untuk orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd