Hidup Memang Aneh


Aku duduk disebelahnya lalu dengan santai ia berucap, “Aku membunuh Bapakku.”
Aku coba mencerna kata-katanya.
Lalu kami saling pandang, membiarkan angin melewati kami agar sejuknya bisa menyentuh sampai ke hati kami yang mulai menggersang.
~
Sungguh melelahkan jika harus bolak balik Samarinda Balikpapan berulang-ulang, menyetir demi seorang adik yang sudah hampir 6 tahun tidak pernah kujumpai. Tapi biar puluhan tahun pun tidak berjumpa tetap saja saudara adalah saudara. Setelah kupikir-pikir dengan jernih, mungkin saja apa yang aku lakukan ini merupakan penebusanku selama 6 tahun karena sudah tidak menjadi kakak yang baik untuknya.
Fajar belum berlalu ketika kami sekeluarga berangkat ke Balikpapan, semua barang sudah dimasukkan ke dalam mobil, adikku yang ingin menikah besok terlihat jadi sering merenung. Aku agak segan menanyakan keadaannya, aku takut ia malah tersinggung, tapi aku tahu ia pastilah sangat gugup.
Sesampai di Balikpapan ketika barang-barang diperiksa kembali di rumah Om, ternyata adikku meninggalkan jas yang akan dikenakannya besok. Dia tambah panik, melihat itu aku jadi menawarkan diri untuk kembali ke Samarinda mengambilkan jasnya.
Sesampai di rumah aku mencari jas tadi di dalam lemarinya, namun aku tidak bisa menemukannya, aku telepon ia untuk sekadar bertanya. Bukannya mendapatkan jawaban yang aku harapkan, ia malah menangis di ujung telepon.
“Kamu baik-baik aja?” tanyaku heran.
“Aku gak yakin ingin menikah!”
Ini jelas jawaban yang sangat  mengejutkan. “Kau jangan bergurau!” aku agak marah.
“Gak, aku gak bergurau. Aku benar-benar bingung.”
“Ya Tuhan, kau hanya panik. Tarik nafasmu dan tenangkan dirimu, aku akan membawakan jas itu untukmu. Jadi di mana kau menaruh jas itu?”
“Aku gak jadi beli jas itu,” ucapnya dengan nada bicara yang masih terdengar panik.
Aku diam menenagkan diriku, mencoba untuk tidak marah sebab jika aku marah keadaan tidak akan jadi membaik. “Okey, aku akan ke toko jas dan beli jas yang kemarin itu. Ukuran kita sama kan. Ingat jangan panik, semuanya akan baik-baik saja.”
Panggilan diputusnya.
“Semua akan baik-baik saja,” ulangku pada diriku sendiri.
Untunglah jas itu masih ada, dan ukurannya juga pas. Sebenarnya aku agak kaget ketika harga jas itu cukup membuat tabunganku banyak terkuras, tapi apalah arti uang demi seorang saudara. Mungkin sudah takdirnya seperti itu. Pikirku terus mencoba positif.
Tak lama setelah menyeberang di jembatan Mahakam, di jalan sepi terlihat seorang perempuan berdiri sambil mengacungkan jempol, sepertinya ia mencari tumpangan. Tanpa keraguan aku berhenti dan menanyakan ia mau kemana. Ternyata ia ingin ke bandara di Balikpapan.
“Berapa?” Tanyanya sebelum masuk ke mobilku.
“Gak usah bayar, kebetulan saya juga mau ke Balikpapan.”
Ia terlihat ragu.
“Aku bukan orang jahat kok. Di Balikpapan adikku ingin menikah jadi aku...” belum selesai aku menjelaskan ia sudah membuka pintu dan memasukkan ranselnya.
Ia melirik ke arah jas yang tergantung saat meletakkan tasnya ke bangku belakang.
“Maaf jika merepotkan,” ucapnya dengna nada yang agak ramah dari sebelumnya.
“Gak apa-apa. Dulu saat awal di Bali saya juga diberi tumpangan oleh orang asing, jadi anggap saja apa yang saya lakukan ini adalah pembayaran hutang budi.”
“Oh, jadi tinggal di Bali?”
“Iya.”
Ia menyodorkan tangannya. “Aku Marlina.”
“Anton,” ucapku sambil menjebat tangannya. “Marlina si pembunuh dalam empat babak,” ucapku coba bergurau.
Ia tersenyum.
“Kamu tau film itu?”
“Tau kok. Film bagus.”
“Ke bandara mau kemana?”
“Jogja.”
“Kuliah?” Tebakku.
“Gak, hanya mau kesana aja.”
Setelah itu pembicaraan kami terhenti cukup lama. Aku menyalakan pemutar musik agar suasana tidak sepi.
“Kau sudah makan?” Tanyanya tiba-tiba
“Kamu lapar?”
“Sejak pagi aku belum makan,” jelasnya.
Kami mampir di sebuah rumah makan pinggir jalan. Marlina tidak bercanda kalau ia kelaparan, makannya sangat banyak, dan hebatnya ia tidak jaim makan selahap itu di hadapanku.
“Kamu gak lapar ya?” tanyanya saat melihat makanan dalam piringku masih banyak.
“Gak terlalu.”
“Dihabiskan,” nadanya memerintah. “Di dunia ini banyak orang kelaparan, jadi jangan sia-siakan makanan yang ada di hadapanmu.”
Aku hanya tersenyum menanggapi.
Tapi ia masih terlihat serius. “Bukan berarti aku ingin menghakimimu. Tapi sayang saja kalau makanan akhirnya dibuang cuma-cuma.”
Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Tidak ada pembicaraan, hanya ada suara Adele melantunkan lagu All I Ask dari pemutar musik.
“Kamu ke Balikpapan mau ngapain?” Tanya Marlina di antara kesenyapan kami.
“Besok adikku mau menikah. Jasnya tertinggal di Samarinda, jadi aku mengambilkannya.”
“Ternyata kamu kakak yang baik.”
Aku tertawa agak sinis menanggapi kalimatnya itu. “Gak juga. Aku hanya merasa bersalah aja karena sudah 6 tahun gak ada untuk dia. Walau apa yang aku lakukan ini gak akan cukup untuk menebus semua itu.”
“Bersyukur aku gak punya adik atau kakak, jadi gak ada beban macam itu.”
“Jadi kamu anak tunggal?”
“Iya.”
“Anak tunggal biasanya punya beban orang tua, maksudku gak boleh pergi terlalu jauh sebab biasanya orang tua mau ada anak yang menemani mereka.”
“Itu dulu, tapi sekarang sudah gak lagi. Orang tuaku sudah meninggal semua.”
“Oh, maafkan aku.”
“Gak perlu minta maaf, apa yang aku alami kan gak ada hubungannya sama kamu.”
Aku tersenyum, coba memperbaiki suasana.
~
Aku merokok di teras lantai dua, mencoba menenangkan diri, memandangi gemerlap lampu kota Balikpapan. Adikku muncul sambil membawa dua cangkir kopi. Dia minta rokok lalu duduk disebelahku.
“Kamu bisa merokok?” tanyaku.
“Gak terlalu. Tapi lagi mau aja.”
Aku menyerahkan kotak rokok dan menyulutkan api untuknya. Kami merokok bersama di teras itu.
“Aku agak ragu dengan Intan,” ucapnya menjelaskan tentang calon istrinya.
“Kenapa memang?”
“Aku takut ia mau cepat punya anak. Ibunya agak keras kepala.”
Aku tertawa. “Ibu kita juga keras kepala. Gak ada Ibu yang gak keras kepala. Tapi, bagus juga kalau kamu cepat punya anak.”
“Aku belum siap punya anak. Gajiku masih kecil, aku takut nanti terbebani dengan kebutuhan anakku.”
“Aku gak punya saran yang lebih baik untuk hal semacam ini. Tapi kamu cinta kan sama Intan. Nah kalau cinta ya dijalani aja sama-sama.”
“Aku cinta dia, tapi belum siap punya anak!” Ia bersikeras.
“Ya kamu ngomong sama Intan, biar dia tau. Kalau sudah berkeluarga nanti jangan ada rahasia-rahasiaan, jujur aja, saling percaya.”
Ia melirik padaku kemudian tertawa. “Bicaramu macam sudah pernah berkeluarga aja.”
Aku tertawa. “Berarti yang salah itu kamu. Kenapa meminta saran dengan orang yang gak berpengalaman.”
Kami tertawa cukup keras.
Setelah rokonya habis sebatang dan kopinya hampir tandas, ia pamit mau istirahat.
“Terima kasih ya,” ucapnya padaku sambil menyodorkan tangan.
Aku bangkit, menjabat tangannya kemudian memeluknya. “Aku yang minta maaf karena sudah hampir 6 tahun gak ada buat kamu.”
Dia tertawa kemudian melepaskan pelukan dengan canggung. “Lain kali gak usah pakai peluk,” guraunya sambil berjalan masuk.
“Tapi aku sayang kamu,” ucapku sambil tertawa.
“Najis!” jawanya juga sambil tertawa.
~
Suara azan ashar terdengar samar di kejauhan, kami berhenti disalah satu masjid terdekat. Aku solat sedangkan Marlina memlih untuk tinggal di dalam mobil. Selesai solat aku agak kaget ketika mendapati Marlina menangis, ia mencoba menyapu air matanya saat aku masuk ke mobil, namun tangis itu tidak bisa disembunyikannya dariku.
“Kamu baik-baik aja?”
“Iya, gak apa-apa kok. Aku cuman ingat sesuatu aja.”
Aku tidak enak bertanya lebih jauh, lagi pula aku tidak mengenalnya demikian juga ia kepadaku. Tak lama kami kembali melaju di jalan utama, Marlina meminta padaku untuk menepi. Ia keluar dari mobil, menuju ke bukit kecil yang ada di samping jalan. Aku tidak perotes, hanya mengikutinya.
“Kamu baik-baik aja? Tanyaku untuk memastikan.
“Aku baik-baik aja. Aku hanya ingin ke atas sana sebentar, meringankan kepala,” ucapnya sambil tersenyum.
Karena sudah mendapat jawaban seperti itu maka aku memilih untuk tidak lagi berkomentar.
Ia duduk di atas rumput, aku duduk disebelahnya lalu dengan santainya ia berucap, “Aku membunuh Bapakku.”
Aku coba mencerna kata-katanya. Lalu kami saling pandang, membiarkan angin melewati kami agar sejuknya bisa menyentuh sampai ke hati kami yang mulai menggersang. Aku menganggap ucapan Marlina sebagai kiasan yang memang sengaja dilakukannya agar aku tidak terlalu memahami masalah seperti apa yang sedang dihadapinya.
“Hidup memang aneh,” ucapnya lagi.
“Iya, kadang juga melelahkan,” aku tertawa kecil.
“Apa kau pernah berlagak pura-pura bahagia?”
Aku tersenyum. “Siapa di dunia ini yang tidak pernah melakukannya? Semua orang pernah kan?”
“Iya semua orang melakukannya. Apalagi jika kau mengintip ke sosial media, semua orang melakukan itu di sana.”
“Demi dapat jempol dari orang-orang,” tambahku.
“Ya, terdengar sepele memang.”
“Sosial media itu semacam kotak yang isinya bisa apa saja, bisa berisi hal-hal yang kita sukai, kita cari, atau juga kita benci.”
Marlina tertawa. “Orang yang merasa benar akan selalu berdampingan dengan orang-orang yang merasa lebih benar, semua saling menyalahkan, sehingga kebenaran jadi hal yang salah. Lewat sosial media kau bisa membenci seseorang yang tidak kau kenal, atau malah tidak pernah kau lihat wajahnya. Kau bisa menemukan agama paling benar di sosial media, lalu persoalan negara, persoalan orang miskin yang sok kaya, persoalan keluarga, perselingkuhan, dan banyak lagi.”
“Kalau mendengar hal seperti itu, seakan sosial media isinya hanya orang-orang yang terus berpura-pura bahagia saja. Walau aku yakin ada saja orang-orang yang benar-benar menemukan kebahagiaan di sana.”
“Mungkin saja, kita gak pernah tahu kan. Karena kita gak pernah tahu lebih baik hindari semua itu.”
“Ketakutan,” ucapku menyimpulkan. “Manusia memang selalu takut dengan hal-hal yang tidak mereka ketahui. Menganggapnya ancaman.”
“Ah, sudahlah. Sebaiknya kita kembali jalan, takutnya nanti aku ketinggalan pesawat,” ia bangkit dan berjalan meninggalkanku.
Aku juga bangkit. “Memangnya pesawatmu berangkat jam berapa?”
“Aku juga belum tahu.”
Di sisa perjalanan kami, kami bernyanyi mengikuti lagu yang mengalun dipemutar musik. Marlina turun di bandara, mengucapkan terima kasih sambil menjabat tanganku. Ketika sudah kembali di jalan utama aku agak menyesal karena tidak mengajaknya bertukal nomor telepon.
~
Dua hari kemudian setelah mengantar pengantin baru ke bandara untuk bulan madu mereka, aku terkenang Marlina. Di mana ia dan apa yang sedang dilakukannya. Senyum dan tangisnya membayang di benakku.
Di lampu merah aku membeli sebuah koran dari seorang bocah penjual koran. Saat membaca berita utama koran tadi aku kaget. Di halaman utama itu terpajang foto Marlina dan dibawahnya tertulis; Saat Ingin Kabur Pembunuh Ini Tertangkap Di Bandara.
Aku teringat kata-katanya tentang membunuh bapaknya. Hidup memang aneh!
~


Comments

Popular posts from this blog

Jangan Sembarang Pakai Kata ‘Butuh” Dengan Urang Kutai

Pengakuan Anton Chekhov dalam cerpen-cerpennya

(Review) The Stranger by Albert Camus - Kehidupan Ialah Sesuatu yang Absurd